Problematika Pendidikan yang Tak Kunjung Temukan Solusi
Pendidikan merupakan pondasi terpenting dalam suatu Negara. Seperti tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 “Mencerdaskan kehidupan bangsa”, pendidikan menjadi tanggung jawab Negara dan masyarakat karena menjadi faktor utama dalam membangun karakter bangsa sekaligus pembentuk generasi penerus bangsa. Oleh sebab itu jika Indonesia ingin menjadi Negara yang maju dengan pendidikan berkualitas, maka pemerintah dan masyarakatnya harus mulai berbenah demi perubahan pendidikan di Indonesia yang lebih baik.
Banyak persoalan pendidikan Indonesia yang sampai detik ini masih menjadi beban bersama. Pendidikan yang belum merata, pendidikan karakter dan moral yang belum terpatri seutuhnya dalam jiwa para siswa, sistem belajar di Indonesia, serta kualitas pendidik yang hrus ditingkatkan.
Pendidikan yang belum merata inilah yang menjadi persoalan utama negeri ini. Menurut Education Development Index, pendidikan di Indonesia menempati urutan ke 69 dari 127 negara. Diantara penyebab tidak meratanya pendidikan kita adalah minimnya infrastruktur, akses pendidikan dan kesempatan untuk mengenyam bangku sekolah.
Kita temui bahwa fasilitas pendidikan tiap daerah tak merata. Di pulau Jawa saja fasilitas di kota dan desa berbeda. Faktanya seperti di ibukota dan kota-kota besar di Jawa sudah memiliki infrastruktur yang memadahi, bangunan yang layak, tenaga pendidik yang berkualitas, teknologi media yang menunjang pembelajaran, serta standar sekolah yang baik. Sementar di lain kota apalagi yang berada di daerah pelosok, memiliki fasilitas yang terbatas bahkan tidak memenuhi standar kelayakan, kondisi sekolah yang sangat memprihatinkan, bahkan sebagian besar masyarakatnya buta huruf. Sungguh kondisi yang berbanding terbalik. Di sinilah pr pemerintah yang harus dikerjakan untuk menyetarakan pendidikan dari semua lapisan masyarakat.
. Begitupun dengan daerah lain diluar Jawa.
Perbedaan kesempatan dalam mendapatkan pendidikan. Anak yang berasal dari kalangan keluarga kurang mampu terkadang sulit untuk mendapatkan kesempatan bersekolah, padahal setiap anak memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan.
Kurikulum terbaru dari Mendikbud (K13) tentang penghapusan pelajaran Bahasa Inggris di tingkat Sekolah Dasar. Bahasa Inggris merupakan bahasa Internasional untuk bidang akademik, ilmu pengetahuan, teknologi, bisnis dan lainnya yang harus dikuasai para generasi muda. Jika dilihat dari sudut pandang yang lebih luas, sebenarnya mempelajari bahasa asing terutama bahasa Inggris sejak dini sangat bermanfaat terutama di era globalisasi seperti saat ini.
Tak hanya bahasa Inggris, begitupun dengan ilmu pengetahuan. Pada jenjang SD mata pelajaran IPA dan IPS juga di tiadakan. Ilmu pengetahuan tersebut dilebur ke dalam semua mata pelajaran. Padahal pada jenjang ini anak memiliki potensi dan ingatan yang maksimal. Seharusnya hal ini menjadi kesempatan untuk membangun pondasi bahasa serta pengetahuannya. Tidak harus rumit, setidaknya siswa SD diberi mata pelajaran yanh terkait dengan dasar-dasarnya saja. Tujuannya agar ketika memasuki jenjang sekolah menengah, para siswa sudah memiliki dasar yang baik dan tidak akan merasa kesulitan untuk melanjutkan ke materi selanjutnya yang lebih spesifik.
Kurikulum pendidikan karakter dan moral belum terlaksana secara maksimal. Mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan memang telah diberikan sejak duduk di bangku Sekolah Dasar bahkan hingga ke Perguruan Tinggi, namun masih banyak generasi kita yang belum bisa menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Masih banyak yang belum memahami nilai-nilai Pancasila dan mengamalkannya. Bahkan sebagian dari tingkah laku generasi muda sekarang yang tak sesuai dengan Pancasila serta kaidah moral negeri ini.
Sistem pembelajarn di Indonesia juga bisa dikatakan overtime. Kita lihat saja di luar negeri seperti Jepang yang terkenal dengan masyarakatnya yang cerdas dan disiplin. Mereka masuk sekolah pukul 08.50 karena di Jepang jam 7 pagi belum terlalu terang disana dan pulang sekitar pukul 4 sore tetapi mereka tetap bisa berprestasi bahkan di kancah Internasional. Satu lagi kebiasaan orang Jepang yang patut kita contoh adalah mereka gemar membaca dimanapun dan kapanpun saat mereka senggang. Sementara di Indonesia, siswa masuk pukul 06.45 dan pulang sampai sekitar jam 2 sampai 4 sore. Namun apa hasilnya? Mungkin sebagian besar dapat berprestasi, namun tak menutup kemungkinan ada pula siswa yang stress karena menganggap waktu mereka terforsir untuk belajar. Belum lagi jika mereka harus mengikuti kursus/les/bimbingan yang diarahkan orang tuanya. Mereka juga butuh bermain, butuh berkumpul juga dengan teman dan keluarganya. Lantas dengan sistem belajar seharian apakah cara yang tepat?
Hal terakhir yaitu tentang peningkatan kualitas pelaku pendidikan Guru juga merupakan faktor yang sangat penting. Lebih dari 54 persen guru memiliki standar kualifikasi yang harus ditingkatkan. Tuntutan pendidikan sekarang memang mewajibkan para guru meguasai teknologi sebagai penunjang pembelajaran. Salah satunya dengan pelatihan teknologi guru. Kegiatannya dapat berupa workshop, seminar, pelatihan, atau semacam sertifikasi. Hal ini sangat membantu dalam peningkatan kualitas guru. Namun sekali lagi ini berlaku bagi seluruhnya tidak terkecuali bagi guru yang mengajar di desa atau daerah pelosok. Akan percuma apabila yang menguasai teknologi jika hanya guru kota saja. Kembali pada poin pertama bahwa semua harus merata tanpa terkecuali.
Komentar
Posting Komentar